Senin, 28 Mei 2012

Catatan dari Ujung Jawa


Dari ujung Jawa sinar cahaya berpendar terang. Madura yang terlupakan akan segera berubah menjadi primadona investasi baru. Penting diketahui dibalik itu bahwa di Madura tersimpan SDA yang berlimpah terutama minyak. West Madura Offshore nama blok itu, omset dari blok ini berjumlah 13.400 Barel/Hari (2 juta liter / hari) yang jika dihitung secara materi dengan asumsi harga minyak US$147 dan kurs Rp.8500/1US$ maka tidak kurang dari 17 Miliar rupiah.
Mobil-mobil dari luar kota tiap hari berseliweran setiap hari kesana-kemari dari mulai Bangkalan sampai Sumenep. Jalan Madura sudah kian meramai dan tak lagi sepi. Kota-kota di pulau ini mulai memadat, rumah-rumah penduduk semakin mendempet, ruang-ruang publik semakin terdesak oleh proyek-proyek pembangunan pabrik, ruko-ruko dan fasilitas-fasilitas perdagangan.
Dari Suramadu, pasar baru terbentuk. Komoditas pabrikan digelontor dari kota industri terdekat. Kini, lapak-lapak pedagang semakin gampang ditemui berbagai komoditas. Bagi kaum kapitalis Madura tak hanya membuka pasar untuk distribusi. Di pulau itu pula faktor produksi tenaga kerja berlimpah ruah banyaknya. kalau sebelumnya kita kenal orang Madura sebagai kaum urban yang kuat dan pemberani. Kapitalisme di Madura akan menghadirkan narasi lain. Tenaga pemberani dan tekun itu akan diberikan tempat untuk bekerja dan berkarya dalam institusi-institusi bisnis, pabrik, dan industri buruh berkerah putih pun biru.
Formasi kapitalisme di Madura akan memiliki ciri yang unik secara struktual. Kapitalisme di Madura tidak sama dengan daerah lain. Sesuai dengan prinsip teori perkembangan masyarakat yakni hukum, perkembangan yang tak-berimbang dan tergabungkan (the law of uneven and combined development). Hukum ini meyakini bahwa situasi di negara atau kawasan satu berbeda dengan yang lain. Mereka melewati tahapan-tahapan sejarah yang berbeda. Begitu juga evolusi politik yang akan berlangsung-pun akan berbeda (Ted Sprague: 2012).
Ini sekaligus menjadi batas, bahwa kapitalisme Suramadu tumbuh diatas proses dialektika perkembangan masyarakat yang berbeda. Kapitalisme Suramadu, tumbuh diatas situasi krisis global kapitalisme, sementara pada level kemasyarakatan Madura adalah daerah religius dimana dominasi pesantren dengan hierarki feodal terjaga tumbuh. Dialektika perkembangan masyarakat Madura selanjutnya ditentukan dari tarik menarik dua kondisi obyektif dan subyektif di atas termasuk formasi kelas dan karakteristiknya.
Kapitalisme dari Suramadu
Suramadu menolong pemodal membuat pasar tanpa harus berperang. Suramadu juga berarti meruntuhkan feodalisme tua dengan merebut konsesi-konsesi dari tuan tanah dan aktor politik lokal secara kompromis. Bahkan, transportasi dari Jawa ke pulau Madura bisa dipastikan akan membuat proses dualisme pada masyarakat Madura oleh para pemilik alat produksi berlangsung lebih cepat. Apalagi, bank-bank dan sarana bagi berkembangnya industrialisasi sejauh ini sudah ada di pulau tersebut.
Seiring mobilitas arus kapital dan industri yang datang dari luar ke dalam, saat batas dan tekanan yang datang dari luar itu dirasa sangat kuat dan mengancam eksistensi identitas awal konflik berlangsung sebagai keniscayaan. Salahsatunya monetisasi dan mendesaknya penggunaan uang dalam transaksi sehari-hari yang akan meruntuhkan bangunan mutualisme kolektif masyarakat Madura dari waktu ke waktu. Kita ambil contoh, peristiwa di Banyuates tentang protes warga akibat kecemburuan sosial antar kecamatan yang dilatari pendirian perusahaan garam, hanyalah repihan kecil dari bagaimana benturan budaya yang berujung konflik, selanjutnya konflik serupa akan menjadi kelumrahan dalam di Madura pada hari-hari kedepan.
Kapitalisme Suramadu disini dimaksudkan sebagai sebuah kondisi atau situasi tumbuhnya mode produksi kapitalisme yang berlangsung di Madura. Kapitalisme Suramadu merujuk pada konstelasi kepentingan pemodal, pemerintah/ birokrasi, kelas menengah profesional, tuan tanah dan buruh, kaum tani. Masuknya pemodal raksasa atau kaum kapitalis niscaya membawa gerak percepatan perubahan pola dan mode produksi feodalisme di tangan elite-elite tradisional menuju kapitalisme yang dibimbing oleh pemodal raksasa, negara dan multinasional dengan motif kepentingan akumulasi kapital dan mencari nilai lebih di Madura.
Transisi dari feodalisme menuju kapitalisme ini, mau tak mau akan semakin mendesak kelas-kelas yang selama ini semu dalam feodalisme menjadi nampak jelas. Bisa kita bayangkan saat nantinya dari luar Madura datang pengusaha-pengusaha yang memiliki kapital dan menginvestaikan uangnya di Madura. Pengusaha akan menjadi kelas yang kuat secara sosial dan politis sehingga itu berarti akan terjado kontradiksi baru di mana peran kyai, santri yang kuat akan berubah konstelasinya.
Melihat Madura kedepan dari Suramadu seperti halnya melihat kronologi pencurian dari asal dia masuk. Suramadu sangat tepat dilihat sebagai titik awal penjelas dimana arus eksploitasi dalam mode produksi kapitalisme di bumi Madura berawal.
Menunggu Transisi dan Moment Kesadaran Kelas
Suramadu telah dibuka, dinamika ekonomi terpompa lebih cepat. Arus transportasi menjadi jalan arus kapital deras mengalir menyebar dan mengembangkan diri. Barisan kelas pekerja baru yang sebelumnya secara samar-samar ada, kini mulai jelas terbentuk dan terlihat sebagai sebuah kelas. Moment perseteruan kaum pekerja dan pemodal tidak dapat dilepaskan di industri dan pabrik-pabrik. Buruh Madura sebagai pekerja yang menghasilkan nilai lebih dan terus ditekan kesejahteraannya akan berkontradiksi dan bangkit melawan pada suatu waktu.
Kaum pekerja, anak-anak muda, warga Madura yang cinta terhadap tanah kelahirannya harus sadar situasi yang akan mereka hadapi ke depan. Tidak ada yang bisa menahan laju sejarah, kapitalisme di Madura akan terjadi cepat atau lambat menggantikan feodalisme tua yang sedang mengalami krisis. Masalahnya kini, Jangan sampai mereka menjadi kaum pribumi yang terbuang dari tanah kelahiran, seperti yang dirasakan kaum Aborigin, atau Indian. Satu-satunya jalan keluar bagi orang Madura adalah mulai mempersiapkan diri menghadapi arus ini. Dan tidak ada jalan keluar bagi buruh tersebut selain, berkumpul, berdiskusi, dan melakukan perlawanan-perlawanan pemilik alat produksi untuk kedaulatan tanah dan airnya dari eksploitasi kaum pemilik alat produksi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar